Minggu, 23 November 2014

Kisah Masa Kecilku

Aku rindu masa-masa kecil dulu. Masa-masa yang telah lama aku tinggalkan. Masa kecil yang penuh kenangan, menyenangkan, karena yang menyakitkan tak pernah mau ku kenang, atau memang sebenarnya tak ada yang menyakitkan. Ah… bagi ku sekarang, semua kisah masa kecil dulu menyenangkan. Masa-masa yang aku habiskan di “Omah Kulon” (sebutan rumah nenek yang dulu menjadi tempat tinggal ku, sebelum nenek meninggal, sebelum rumah baru ku dibangun, 100 meter di sebelahnya). Masa-masa yang aku habiskan bersama teman-teman, anak-anak kampung yang hanya kenal keceriaan itu. Ai… betapa indahnya.  Betapa besar anugerah Allah, anugerah pengalaman hidup yang begitu mengesankan itu.
Akan aku goreskan kenangan itu, tidak hanya di dalam ingatan, tapi juga dalam guratan kata-kata yang  ku rangkai menjadi sebuah kisah. Kisah masa kecil ku.  Oh….begitu banyak, hingga aku bingung mulai dari mana. Tapi selebihnya, menulis kisah ini begitu mengasyikkan. Perjalanan mengenang masa lalu. Masa kecil di tanah leluhur, Tanah Jawa tercinta.

Kerupuk Puli

Oke, mulai saja dari kegiatan ku sepulang sekolah (TK Aisyah Bustanul Atfal). Jam 10, masih bisa dibilang pagi. Aku segera menaruh tas dan berganti baju, tapi lebih seringnya hanya menaruh tas. Urusan ganti baju adalah hal yang malas ku kerjakan, bisa berjam-jam beraktivitas baru aku mau ganti baju, sampai kadang-kadang Ibu dan Bapak jadi marah-marah cuma perihal ganti baju. Yach begitu lah aku. Anak bebal ini sangat sulit dinasehati, tapi bukankan itu wajar bagi anak-anak seusia itu (beginilah anak bebal, selalu mencari pembenaran di setiap kesalahannya).
Setelah ganti baju (atau tidak ganti baju) sepulang sekolah, aku langsung menghampiri Mbah (panggilan nenek dalam Bahasa Jawa) yang sibuk membuat kerupuk puli. Kerupuk yang sangat gurih dan nikmat, makanan kesukaan keluarga ku. Aku melihat Mbah yang cekatan mencampur bahan-bahan yang terdiri dari nasi (sisa kemarin), garam, dan ragi puli. Bahan-bahan yang sederhana tapi mampu menghasilkan sesuatu yang berharga. Mbah mencampurnya hingga menjadi adonan yang siap digiling. Sebelum digiling Mbah selalu memberiku segenggam kecil adonan itu untuk dicicipi. Aku menerimanya dengan senang hati.
“Piye, enak?”, tanya Mbah penasaran.
Aku mengangguk, “Enak tenan (enak sekali) Mbah”.
Gak kurang asin?” tambah Mbah.
Aku menggeleng, “Wis pas Mbah”.
Mbah tersenyum dan mulai menggiling adonan puli itu. Setelah digiling, Aku membantu Mbah mengirisnya menjadi kotak-kotak, macam kerupuk lah. Setelah itu, puli diletakkan di atas tampah kemudian di jemur di atas genteng atau di atas pagar. Sore hari tampah diangkat. Puli yang telah kering, di goreng, jadilah kerupuk puli. Kerupuk itu kemudian di masukkan ke dalam blek (toples kerupuk) dan siap dinikmati. Kerupuk puli seakan menjadi bagian dalam hari-hari keluarga ku, tak pernah kekurangan stok, karena Mbah selalu membuatnya tiap hari (lebih tepatnya jika ada sisa nasi kemarin ;)). Makan nasi tanpa kerupuk puli rasanya hambar. Nonton TV tanpa ngemil kerupuk puli, rasanya gag asyik. Begitulah kerupuk puli, camilan sederhana itu, menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi keluargaku.

 Vampir….. Vampir….

Setelah menemani Mbah membuat puli, biasanya aku menonton TV. Apalagi acara jam 11 kalau bukan vampir. Ya… film hantu China yang konyol itu menjadi acara favorit ku dan adikku, Reza, yang terpaut 2 tahun denganku (saat itu aku masih punya satu adik, belum tiga adik). Acara itu biasanya di putar di stasiun TV swasta, sebut saja RCTI. Kadang vampirnya lucu, kadang juga menyeramkan, tapi semuanya menarik bagiku. Gaya vampir-vampir itu, melompat-lompat dengan tangan terangkat, lurus dengan bahu. Menggigit leher manusia. Bingung, celingak-celinguk saat manusia di sekitarnya menutup mulut dan hidung. Mematung bila ditempeli jimat (berbentuk selembar kertas kuning dengan tulisan kanji yang tak tau apa artinya). Terbakar jika disiram kencing perjaka, serta hal-hal kocak khas film vampir lainnya.

Masak-Masakan

Setelah menonton TV kegiatanku biasanya bermain, sendiri atau bersama teman. Jika sendirian, aku bermain bongkar pasang. Kadang membuat rumah-rumahan dari tanah atau batu atau bantal-guling. Kadang bermain masak-masakan dari pelepah pisang dan membuat kue dari campuran tanah dan air, kemudian dipanggang alias dijemur di bawah terik matahari hingga kering. Berbagai bentuk dan macam kue berhasil kuciptakan, hanya bermodal air dan tanah, kreatif bukan?! Ah… andai laku dijual, sudah jadi juragan kue aku sekarang.
Untuk masak-masakan biasanya aku melibatkan pisau untuk mengiris bahan-bahan yang terdiri dari pelepah pisang dan daun-daun tanaman. Tapi, jika Bapak melihatnya, ia akan melarang dan menasehatiku panjang lebar bahwa anak kecil tidak boleh mainan pisau, bahaya kalau teriris. Sekali lagi, semuanya hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri untuk anak bebal seperti ku. Nasehat dan peringatan Bapak tak pernah kugugu. Akibatnya, jariku kerap kali teriris pisau (benar kata Bapak). Belum sembuh luka di jari telunjuk, datang luka teriris yang baru, muncul di jari tengah. Belum sembuh luka yang di jari tengah, muncul yang baru di kelingking. Begitulah, hingga banyak hansaplast yang menghiasi jari-jariku.
Hal macam itu tak sedikitpun membuat jera, meski perih saat darah mengalir dari jariku yang teriris. Saat tanganku teriris, aku menangis, kemudian bersembunyi di dalam lemari pakaian, merintih, menahan, takut ketahuan Bapak. Ibu ku yang peka, segera menyadari, membimbingku keluar dari lemari dan membalut lukaku dengan perban atau hansaplast. Kemudian, mengajakku berbaring, mengipasiku, atau kadang meniupi jariku yang di perban, dan memintaku untuk tidak menangis lagi. Sebenarnya aku menangis bukan karena sakit. Ah… rasa sakit macam ini sudah biasa. Aku menangis karena takut dimarahi bapak.
Aku menatap wajah ibuku, memelas dan berkata, “Ojo diomongne Bapak ya Buk! (jangan bilang ke Bapak ya Bu!)”.
Ibuku mengangguk pelan.
Janji ya!”, aku memastikan.
Ibuku mengangguk lagi.
Kemudian, perlahan-lahan kupejamkan mataku, tertidur. Air mataku telah mengering. Dalam kelonan (dekapan) ibu, aku merasa tenang. Tiupan ibu ke jemariku yang terluka, begitu menyejukkan. Semuanya terasa tenteram. Sebenarnya aku tak pernah bisa menyembunyikan luka teriris itu dari Bapak. Meski Ibu tak pernah mengadukannya. Perban di tanganku itulah yang selalu berucap tanpa kata pada Bapak, memberitahu bahwa sekali lagi anaknya tak mengindahkah nasehat-nasehatnya.

Bermain di Lapangan

Hampir tiap hari, aku bermain dengan teman-teman kampungku. Mereka ada banyak sekali. Kadang mereka membuatku tertawa, kadang menangis. Tapi semuanya bagiku indah, semua yang aku lakukan bersama teman-teman kampungku.
Kami punya tempat-tempat favorit untuk bermain. Kami biasa bermain petak umpet, gobak sodor, kasti, beteng, atau patung-patungan di tanah lapang yang terhampar di depan rumah teman-teman kampungku. Semuanya seru, apalagi kalau sudah main kasti, Bapak-bapak dan Ibu-ibu penonton menyoraki dan kadang tertawa terbahak-bahak melihat aksi kami. Sejatinya, permainan kasti adalah memukul bola yang dilempar lawan sejauh-jauhnya, tapi yang kami lakukan adalah melempar pemukul sejauh-jauhnya. Begitulah, permainan itu tak pernah serius, tapi cukup untuk memuaskan hati kami. Setidaknya kami pernah mencoba permainan Jepang itu, meski acak-kadut kami tak peduli, yang penting semuanya Happy.

Bermain di Sawah

Tak jarang juga kami menyatu dengan alam, dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Meski siang-siang, terik matahari, panas, kami tak peduli. Kami adalah sahabat matahari, tak ada yang perlu di takuti.
Salah satu kegiatan kami adalah membuat perangkap ikan di parit-parit tengah sawah. Menggiring ikan-ikan kecil masuk ke dalam perangkap. Berteriak senang saat mendapati perangkap terisi dengan ikan-ikan kecil (meskipun sebenarnya yang kami dapat saat itu adalah kecebong-kecebong). Memasukkannya dalam kantong plastik, bergantian memegangnya, memandanginya yang bergerak gesit dalam air, dan bernyanyi riang menapaki pematang sawah yang becek. Ah… hal sesederhana itu, mampu membuat hati kami berbunga-bunga.

Menangkap Capung

Di sawah-sawah yang membentang luas, kami mencari ciplukan (buah yang berbentuk bulat sebesar kelereng, berwarna hijau bila mentah, dan berwarna coklat bila masak, rasanya amat manis). Sering juga kami menangkap capung dan belalang, berlomba mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Inilah salah satu keahlian kami, menangkap capung dan belalang yang terkenal gesit, dengan tangan kosong, dengan jurus yang mengejutkan, bagi hewan berkaki enam itu. Kami memiliki keahlian menangkap capung dan belalang, tak peduli yang sedang terbang di udara atau yang hinggap di ranting-ranting dan pucuk daun tanaman, kami bisa menangkapnya, tanpa jaring.
Salah satu temanku memasang kuda-kuda, siap menangkap buruan. Ia berdiri, mematung. Tangannya direntangkan, dengan telapak tangan terbuka ke atas. Matanya berputar-putar mencari capung yang terbang ke udara, berharap ada yang mau lewat di atas kepalanya. Tuhan mengabulkan permohonannya. Tak berapa lama, seekor capung bermanuver di samping tubuhnya. Naik. Menukik. Terbang lagi. Dan akhirnya terbang melesat di atas kepala temanku itu. Dengan cepat, secepat kilat, kedua telapak tangan itu bertemu “puk” menangkup, capung itu dapat sekali tepuk, hebat bukan. Manusia diciptakan dengan kelebihan masing-masing. Kami diciptakan dengan kelebihan menangkap serangga.
Ada yang lebih hebat lagi, beberapa temanku bahkan bisa menangkap capung yang sedang terbang di udara bagai menangkap gelembung balon. Mereka hanya tinggal meloncat, melambaikan tangan, capung dalam genggaman, luar biasa. Aku hanya bisa berhasil melakukan itu sekali dua kali, selebihnya gagal.
Meski aku tak begitu mahir menangkap capung yang sedang terbang di udara, aku mahir menangkap capung yang sedang hinggap di ranting atau pucuk daun. Jika ada capung yang hinggap, mataku fokus, tanganku mengambil ancang-ancang beberapa cm di samping buruanku. Setelah aku merasa waktunya tepat (naluri pemburu mode on), aku menggerakkan tangan mendatar, cepat, pasti, sepersekian detik, capung tertangkap. Shock, capung itu terkejut dengan keadaannya sekarang, sayapnya terikat oleh dua jari manusia, tak bisa terbang. Capung itu menggeliat, memberontak. Percuma.
Aku memasukkannya ke dalam plastik yang telah dilubangi kecil-kecil agar capung di dalamnya bisa bernafas. Capung itu berputar-putar, mencari jalan keluar. Percuma. Cukup lama. Putus asa.
Aku mengamati capung yang terdiam itu. Bola matanya yang bundar dan besar berputar-putar. Sungguh lucu. Warna tubuhnya sungguh menawan, di dominasi warna biru cemerlang, berbelang kuning. Sayapnya bening, berwarna-warni, bagai warna pelangi saat memantulkan sinar matahari, sungguh cantik.
Aku duduk, sibuk memandangi capung tangkapanku. Tak peduli dengan perlombaan menangkap capung itu. Satu capung dalam genggaman, itu sudah cukup.
Capung itu mengepak-ngepak. Lemah. Entah mengapa aku kasihan. Ia terlihat pasrah, matanya tak lagi berbinar, sayu. Ia semakin lemah. Oh… aku tak ingin kalau capung ini sampai mati. Makhluk cantik ini tak boleh mati, tak boleh mati karenaku. Aku teringat kata Ibu, kalau aku tak boleh menyiksa binatang, dosa. Oh… Tuhan, apa yang sedang aku lakukan?
Akhirnya aku memutuskan. Kuambil capung itu dari plastik, kujepit sayapnya dengan jariku. Kuangkat ke atas. Ku bebaskan ia. Sayapnya mengepak, sejenak linglung, terbangnya terseok-seok, namun dengan cepat ia menyeimbangkan tubuhnya, terbang ke atas, dan seakan menoleh ke arah ku, berkata “Terima Kasih”. Aku melambaikan tangan dan membalasnya “Sama-sama” (jangan pernah meremehkan imajinasi anak-anak, mereka pengkhayal yang hebat).
Kemudian, capung itu melesat, gesit, ke angkasa, tak terlihat. Aku menatap takzim kepergiannya. Aku merasa lebih bahagia.
Beberapa saat kemudian, temanku menghampiriku, bingung, melihat tanganku yang kosong.
“Ndi kinjeng mu? Gak entuk belas? (Mana capungmu? Tidak dapat sama sekali?)”, tanyanya heran.
Aku tersenyum dan berkata, “Sepertinya kita tidak usah berlomba menangkap capung lagi”.
Aku menunjuk plastik yang dipegang oleh temanku. Tiga ekor capung berebut tempat dan oksigen di dalamnya. Sambil memasang wajah serius aku kembali berkata, “Kalau mereka mati, arwah mereka akan menghantuimu tiap hari”.
Temanku bergidik, sambil tersenyum datar ia berkata, “Ah… enek-enek ae awakmu (Ah… ada-ada saja kamu)”.
Aku hanya tersenyum, melangkah pergi.
Di belakangku temanku itu buru-buru membuka plastiknya. Tiga ekor capung terbang. Bebas. Langit menyambutnya.
Hari-hari berikutnya aku rindu menangkap capung. Kenikmatan dan ketegangan menangkap capung menyergapku. Aku juga ingin melihat keindahan warnanya. Akhirnya, jika tidak tahan, aku menangkapnya, hanya melihatnya sebentar, lalu melepaskannya lagi.
Berbeda dengan capung, belalang mudah ditangkap. Bagi kami mereka tak terlalu gesit. Tapi kami tak begitu suka menangkap belalang. Selain tak ada kenikmatan saat menangkapnya (karena terlalu pasif, tak banyak bergerak, tak ada tantangan), belalang juga sering buang kotoran dan cairan bau saat di tangkap. Alhasil, kami harus cuci tangan bersih-bersih.
Semenjak itu, aku tak pernah menangkap capung dan belalang lagi. Aku cukup bahagia melihat mereka terbang sesuka hati, kesana-kemari, menghias angkasa. Ternyata yang seperti itu lebih indah, melihat mereka bahagia. Tak ada yang lebih bahagia melebihi kebebasan bukan?!.

Mencari Telur Dalam Jerami

Selain bermain di sawah, kami biasanya mencari telur dalam jerami. Kegiatan ini sangat seru. Hanya saja kami tak bisa menikmatinya setiap hari. Hanya waktu-waktu tertentu, pada musim ayam-ayam betina bertelur. Pak Poh (panggilan bagi kakak Ibuku) memiliki peternakan ayam. Peternakan itu berada tak jauh dari lapangan tempat bermain kami. Area peternakan itu besar, tapi ayam ternaknya tak begitu banyak. Sehingga ayam-ayam itu dibiarkan bebas tanpa di masukkan ke dalam kandang-kandang kecil. Pak Poh membuat sebuah “rumah” bagi ayam-ayam itu. Lengkap dengan jerami yang tebal dan berundak sebagai alas serta atapnya. “Rumah” ayam itu setengah terbuka. Yang dibatasi dinding hanya bagian belakang, samping kiri, dan samping kanan. Rumah itu digunakan ayam-ayam untuk tidur, berteduh, dan bertelur. Jika musim bertelur tiba, Pak Poh memanggil kami, dan membagikan keranjang kecil pada kami. Ia meminta kami untuk mengambil telur-telur yang ada di tumpukan jerami di “rumah ayam” itu. Kami menerima tawaran Pak Poh dengan senang hati. Kami berlomba mengumpulkan telur-telur. Berhati-hati, jangan sampai menginjak telurnya. Jangan sampai telurnya pecah, sayang.
Kami mencari dengan jeli, sampai ke sela-sela, ke sudut ruangan, siapa tahu ada ayam yang termarjinalkan di dalam kelompoknya, tak punya tempat, terpaksa bertelur di sudut ruangan. Kasihan.
Setelah keranjang-keranjang kami terisi telur, kami memberikannya kepada Pak Poh. Pak Poh tersenyum, berterima kasih. Membawa telur-telur itu ke dalam, untuk ditetaskan. Sebagai imbalannya kami mendapatkan sekeranjang jagung untuk dibakar dan dimakan bersama-sama. Ah… betapa nikmatnya.

Di Sepanjang Rel Kereta Api

Sore hari, biasanya kami habiskan untuk berkejar-kejaran di padang rumput yang di atasnya membujur rel kereta api. Berlarian kesana-kemari. Memetik dan mengumpulkan bunga-bunga liar yang menghiasi padang rumput bersama teman-teman perempuan.
Kemudian menyelipkan bunga itu di rambut masing-masing. Menonton para teman lelaki yang beradu layang-layang dengan anak kampung sebelah. Menyoraki memberi semangat. Berteriak “Yach” bila layangan teman kami yang putus, dan berteriak “Yes” bila layangan lawan yang putus.
Berjingkat-jingkat dan melambai-lambai jika kereta api lewat, tak jarang penumpang dalam kereta melemparkan sebungkus keripik dan balas melambai. Ah… kereta api yang lewat sesingkat itu, mampu membuat kami saling berbagi dengan penghuni dunia yang lain, berbagi keceriaan dan rizki. Sungguh, bagaimana bisa aku melupakannya.
Permainan dan canda tawa kami harus berakhir saat  Ibu-ibu kami, dari kejauhan memanggil-manggil nama kami, meneriaki kami untuk pulang. Kami berjalan beriringan, pulang. Keringat membasahi baju kami, bau kecut, bau matahari. Saat perjalanan pulang dari padang rumput, kami harus melewati pematang sawah, meloncati parit kecil, dan hup, mendaratlah kami di tanah belakang rumah-rumah kami (tepatnya rumah-rumah teman kampungku, karena rumahku masih 500 meter lagi dari situ). Aku menggandeng tangan adikku, berjalan pulang, menghampiri Ibu kami yang telah menunggu di depan gang. Aku melewati ibu-ibu dan nenek-nenek yang berbaris, duduk di tiap-tiap anak tangga depan salah satu rumah, saling pijet-pijetan atau petan-petanan, senang. Bertemu juga dengan Bapak-bapak yang pulang dari merumput, memarkir sepeda, memanggul karung penuh rumput, lelah. Semua itu adalah satu dari sekian panorama yang tak dapat kujumpai di kota, tempatku tinggal dewasa ini.
Waktunya Minum Susu!
Selesai mandi, dua gelas susu sapi rasa vanilla, sebut saja Dancow, telah siap di atas meja. Satu untukku dan satu untuk adikku. Seperti biasa aku berlari keluar rumah dengan segelas susu di tanganku, adikku mengikutiku dari belakang. Aku menoleh ke arahnya, tertawa licik, ia pun demikian. Kami berkonspirasi, ah tidak, tepatnya aku merencanakan sesuatu dan adikku setuju. Dan konspirasi ini telah terjadi beberapa kali, berhasil.  Ibuku berteriak-teriak di belakang kami, “Mau kemana? Minum susunya, jangan lari-larian!”.
“Kami minum di luar”, jawabku tanpa menoleh. Ibu lagi-lagi percaya (Benarkah?).
Sampai di teras, aku berhenti. Menoleh pada adikku yang telah berada di sampingku, tersenyum licik, adikku pun demikian. Aku melangkahkan kaki, mendekati salah satu tanaman, pohon bonsai. Dengan anggun, kuangkat segelas susuku dan menuangkannya ke dalam pot bonsai yang terletak setinggi dadaku itu. Cairan putih itu mengalir meresap ke dalam tanah, cepat. Tak berapa lama kemudian, cairan putih yang kedua mengalir, meresap ke dalam tanah, tak secepat yang pertama. Cairan putih kedua itu dari gelas susu milik Adikku. Kami berdua saling pandang, tersenyum puas. Konspirasi selesai. Sejauh ini berjalan dengan lancar.
Kami masuk ke dalam rumah, memperlihatkan dua gelas yang telah kosong kepada Ibu, tersenyum bangga, dan berkata,
“Wis tak mimik buk (sudah aku minum Bu)”
“Pinter”, ucap Ibu sambil mengelus rambut kami, tapi tiba-tiba ibu menggandeng tangan kami dan mengajak kami ke teras. Astaga, menuju pohon bonsai yang baru bersendawa karena habis minum susu itu.
Jejak-jejak cairan putih itu masih membekas, terlihat jelas. Kami ketahuan. Konspirasi gagal.
Ibu menggeleng-geleng kepala, lalu berjongkok menatap kami berdua, bergantian, berkata, “Kalian yang minum atau pohon bonsai ini yang minum susunya?”
Kami diam. Sudah jelas. Pohon itu yang meminum susunya, kenapa Ibu masih bertanya juga.
Ibu melanjutkan, “Wah… wah… begitu ya ternyata caranya. Kalau begini, pohon bonsai ini yang gemuk. Lain kali minumnya harus di depan Ibu”.
Kami diam. Mendengarkan (benarkah?).
Ibu mendesah pelan, melanjutkan, “Susu itu tidak boleh di buang-buang. Ibu dan bapak bekerja cari uang biar bisa beli susu buat kalian. Jadi lain kali tidak boleh begini lagi, mengerti?”. Ibu menasehati.
Kami berdua mengangguk pasrah, tak berani membantah karena telah berbuat salah.
Tapi akhirnya mulutku berucap juga, “Habis rasanya gag enak buk, kayak mau muntah”. Adikku menggangguk setuju.
“Kalau biasa minum nanti jadi gag terasa kayak muntah lagi. Makanya susunya harus diminum, biar terbiasa sama rasanya”. Aku tak mengerti. Kalau tak enak, ya tetap tak enak. Akhirnya aku hanya mau minum susu kalau dicampur dengan sedikit kopi, atau susu rasa coklat, atau susu tanpa dicampur air (Nah, yang terakhir ini yang paling nikmat).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar